 |
https://pin.it/4kqRnBbYY |
Angin musim dingin yang menusuk datang dari arah timur, menyelimuti Edinburgh dalam suasana suram dan penuh kabut. Kota ini selalu memancarkan pesona klasik, dengan jalanan berbatu, bangunan tua yang terbuat dari batu hitam, dan suasana abad pertengahan yang begitu kental. Di tengah-tengah keindahan kota ini, ada sebuah kafe kecil bernama The Quill & Brew yang sering dikunjungi oleh mereka yang mencari kehangatan dan kenyamanan. Kafe itu menjadi tempat berkumpul bagi penulis, seniman, dan para pencari inspirasi. Sebuah tempat di mana kopi panas bertemu dengan ide-ide liar, dan dunia bisa dihentikan sejenak.
Sophie, seorang penulis muda yang baru saja pindah ke Edinburgh, adalah salah satu pengunjung tetap kafe tersebut. Setiap pagi, dia datang lebih awal, sebelum kafe itu dipenuhi dengan pelanggan lainnya. Ia memilih duduk di sudut dekat jendela besar yang menghadap ke jalanan berlapis salju. Di depannya, laptop terbuka, dengan layar yang dipenuhi paragraf-paragraf yang belum selesai, seolah-olah kata-kata itu enggan keluar. Kopi hitam tanpa gula, selalu pesanan favoritnya, berdiri di samping laptop, menunggu untuk menjadi teman dalam proses penciptaannya.
Hari itu, seperti biasa, Sophie terjebak dalam kebuntuan kreatif. Penulisannya terasa datar dan membosankan, bahkan dia sendiri merasa tidak bisa menulis dengan bebas seperti biasanya. Cerita tentang seorang wanita yang terperangkap dalam labirin waktu tampaknya terlalu berat untuk dibawa. Sophie sering merasa seolah-olah dunia di sekelilingnya terlalu membingungkan untuk dimasukkan ke dalam tulisan.
Di belakang bar, Alex sedang sibuk menyiapkan pesanan untuk pelanggan lainnya. Rambut hitamnya agak berantakan, dengan kacamata tebal yang menambah kesan cerdas pada dirinya. Meskipun ia bekerja sebagai barista, Alex sebenarnya memiliki gelar sastra dan telah lama mengagumi dunia penulisan. Namun, hidup membawanya ke jalur yang berbeda—ke dunia kopi. Setiap hari, dia melayani banyak orang yang datang ke kafe dengan berbagai tujuan: ada yang sekadar ingin menghangatkan tubuh, ada yang sibuk dengan pekerjaan, dan ada juga yang seperti Sophie—mereka yang datang untuk berjuang dengan kata-kata.
Melihat Sophie yang tampak terhimpit dengan ide-ide yang tidak kunjung datang, Alex merasa penasaran. Ia sudah mengenalnya cukup lama. Setiap hari, Sophie datang, membuka laptop, dan tenggelam dalam dunia imajinasi yang tidak selalu berjalan lancar. Kadang, ia melihatnya bergulat dengan layar, mengetik dan menghapus kalimat berkali-kali, seperti mencari sesuatu yang tidak bisa ditemukan.
"Espresso double, seperti biasa?" tanya Alex dengan nada santai sambil mengarahkan pandangannya ke arah Sophie yang terlihat begitu tenggelam dalam kebuntuan.
Sophie mengangguk, masih menatap layar dengan serius. "Ya, terima kasih," jawabnya tanpa melihat.
Alex membuatkan kopi dengan cekatan, melibatkan seluruh perhatian pada proses menyeduh. Mungkin tak ada yang lebih memuaskan bagi seorang barista selain meracik kopi yang sempurna. Namun, hari itu, ada sesuatu yang membuatnya merasa ingin lebih daripada sekadar memberi kopi.
Setelah secangkir espresso double diserahkan, Alex berhenti di meja Sophie, meletakkan cangkir di samping laptop. "Apa yang sedang kamu tulis hari ini?" tanyanya, sedikit ragu.
Sophie mengangkat pandangannya, sedikit terkejut, lalu menghela napas panjang. "Tentang seorang wanita yang terperangkap dalam waktu... tapi... saya tidak tahu bagaimana melanjutkannya."
Alex tersenyum kecil, menatap layar Sophie yang penuh dengan kata-kata yang tampaknya belum menemukan tempatnya. "Kenapa tidak mencoba menulis tentang apa yang terjadi di sekitar kita?" sarannya, masih dengan suara yang tidak terlalu meyakinkan. "Mungkin itu bisa memberi sedikit arah."
Sophie menatap Alex sejenak, merasakan sesuatu yang berbeda dalam saran itu. "Apa maksudmu?" tanyanya, merasa penasaran.
"Kadang-kadang kita terlalu terjebak dalam mencari sesuatu yang besar dan jauh, padahal hal-hal kecil di sekitar kita mungkin bisa memberi kita inspirasi. Seperti kafe ini—tempat ini penuh dengan cerita," jawab Alex, sambil mengamati suasana kafe yang mulai dipenuhi pelanggan. Ada pasangan yang duduk di meja sebelah, tertawa ringan, ada seorang wanita tua yang membaca buku, dan seorang mahasiswa yang sibuk menulis di buku catatannya. "Setiap orang datang ke sini dengan cerita mereka masing-masing. Mungkin itu bisa menjadi bahan tulisanmu."
Sophie terdiam. Kata-kata Alex menggelitik pikirannya. Dunia nyata yang sering dia abaikan bisa jadi lebih menarik dari yang ia kira. Dengan pelan, Sophie mulai mengetik lagi, kali ini dengan cara yang berbeda. Bukannya melawan kebuntuan kreatif, ia justru mulai menulis tentang orang-orang yang ia lihat di kafe itu—tentang wanita tua yang duduk di pojok dengan wajah yang penuh kerut, tentang pasangan yang seolah saling berbicara lewat senyuman tanpa perlu kata-kata. Semua itu terasa seperti petunjuk kecil yang membimbingnya menuju jalan keluar dari kebuntuan kreatif yang selama ini menahannya.
Selama beberapa jam berikutnya, Sophie tidak lagi merasa tertekan. Dia menulis, membiarkan kata-kata mengalir begitu saja, mengikuti ritme dunia di sekelilingnya. Terkadang, ia mencuri pandang ke luar jendela, menyaksikan salju yang turun perlahan, atau mendengarkan suara percakapan di sekelilingnya yang mengisi udara dengan kehidupan.
Sementara itu, Alex terus bekerja di belakang bar, melayani pelanggan dan menyajikan secangkir kopi setelah secangkir kopi. Namun, ia tidak bisa menahan rasa bangga melihat Sophie yang kini menulis dengan lancar. Terkadang, seorang barista hanya perlu memberi sedikit dorongan, dan itu cukup untuk mendorong seseorang menemukan kembali inspirasi mereka.
Saat kafe mulai sepi, dan angin malam mulai berhembus lebih kencang, Sophie menutup laptopnya, merasa puas dengan hasil kerjanya. Ia menoleh ke arah Alex yang sedang membersihkan meja.
"Terima kasih," katanya dengan tulus. "Kamu benar. Aku perlu melihat sekelilingku lebih sering."
Alex tersenyum, mengangguk ringan. "Kadang-kadang, kita hanya perlu sedikit pengingat. Semua cerita ada di sekitar kita."
Sophie meninggalkan The Quill & Brew malam itu dengan perasaan ringan. Mungkin hidup tidak selalu harus dicari di tempat yang jauh. Terkadang, inspirasi datang dalam bentuk yang paling sederhana: secangkir kopi, sebuah percakapan singkat, dan sebuah kafe yang penuh dengan kehidupan.
Dan siapa tahu? Mungkin suatu hari, cerita tentang seorang barista dan seorang penulis muda yang bertemu di tengah jalan hidup akan menjadi cerita yang Sophie tulis. Sebuah cerita yang dimulai dengan sebuah senyuman dan berakhir dengan sebuah kata-kata yang tepat.